Suasana riuh rendah para siswa angkatan 19 SDIT Insantama, yang dikenal dengan sebutan The Fighter Generation, mendadak berubah menjadi senyap dan penuh haru. Mereka duduk melingkari api unggun dalam keheningan pertanda siap mengikuti malam muhasabah yang penuh makna, Selasa (27/5/2025) di lapangan Pondok Pesantren Al-Hikmah Bogor.
Kegiatan muhasabah malam itu menjadi bagian penting dalam rangkaian Pesantren Wisuda (Peswis) hari kedua, sebagai refleksi akhir menjelang kelulusan. Acara dibuka Penanggung Jawab Peswis Wiyanto.
Dalam suasana yang mulai larut oleh emosi dan cahaya remang api unggun, ia mengajak para siswa untuk mengurai dan menuntaskan segala penyesalan, kesalahan, serta konflik yang mungkin pernah terjadi antar teman selama enam tahun kebersamaan.
“Sekarang adalah saatnya kalian saling membuka hati, meminta maaf, dan memaafkan,” tutur Pak Wiy, sapaan akrabnya, dengan nada tenang dan menggugah.
Sontak, suasana menjadi penuh gejolak emosi. Suara-suara lirih dan lantang silih berganti mengisi malam, saat para siswa memberanikan diri menyampaikan permintaan maaf dan mengungkapkan penyesalan secara terbuka.
Tidak hanya terhadap sesama teman, Pak Wiy juga mengingatkan, kesalahan bisa saja terjadi dalam interaksi dengan para guru. Dengan penuh kebijaksanaan, ia memosisikan diri sebagai wakil para pendidik, menyampaikan permohonan maaf atas kekhilafan yang mungkin terjadi, sekaligus mengajak para siswa untuk senantiasa menjaga rasa hormat dan memaafkan.
Malam haru itu semakin dalam ketika Wawan Rediatna, mewakili guru pengajar Al-Qur’an, melanjutkan sesi muhasabah dengan menyinggung jasa dan pengorbanan orang tua.
Ia menyampaikan, dengan penuh ketulusan bagaimana seorang ibu telah mengandung dan membesarkan anaknya dengan segala harapan dan doa, dan bagaimana seorang ayah berjuang tanpa lelah demi masa depan anak-anaknya. Ucapannya juga menyentuh peran guru yang setiap hari mendampingi dengan penuh kesabaran.
Puncak emosi kembali tersulut saat Bunda Aiman mewakili Forum Orang Tua Siswa (Fosis) dan para orang tua, memberikan pesan menyentuh mengenai perjalanan The Fighter Generation.
Dengan suara lirih, ia menegaskan, julukan the fighter (pejuang) memang layak disematkan pada angkatan ini. Mereka adalah generasi yang telah menaklukkan tantangan demi tantangan selama enam tahun pembelajaran.
Bunda Aiman juga mengajak para siswa untuk mengenang perjalanan panjang mereka dari kelas satu hingga kelas enam.
“Jagalah kemuliaan para guru yang telah mendidik kalian, dan jangan pernah lupakan untuk mendoakan mereka,” pesannya.
Sebagai penutup malam penuh makna ini, Ibu Luluk, perwakilan guru kelas 6, mengajak para siswa menuliskan surat cinta untuk kedua orang tua. Surat itu berisi ungkapan terima kasih, permohonan maaf, serta doa dan harapan yang ingin mereka sampaikan kepada ayah dan bunda masing-masing.
Muhasabah malam yang berlangsung usai shalat Isya berjamaah di masjid hingga 21.00 WIB ini menjadi titik refleksi mendalam dan penuh haru, sekaligus momentum pembekalan batin bagi para siswa sebelum melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.[] Setyanto